Breaking News

videos

Flicker Images

Find Us OIn Facebook

New Design

Sunday, 30 March 2014

Temukan Penderita TB/ Tuberkulosis Sejak Dini

Temukan Penderita TB/ Tuberkulosis Sejak Dini 

 

Imbauan akan bahaya merokok bagi kesehatan sudah sering digembar-gemborkan baik itu di iklan media massa, TV, radio, baliho di pinggir jalan, bahkan sampai pada bungkus rokoknya sendiri terdapat imbauan itu. Namun, nampaknya hal itu sering diabaikan oleh para pecandu rokok sendiri. 
    Ketika sedang mengantri di apotik, aku duduk bersebelahan dengan seorang kakek yang membawa foto rontgen. Dia sedang asyik merokok sambil sesekali batuk-batuk. “Orang sakit kok masih merokok saja,” gumamku. 

Berikut ini hasil pembicaraanku dengannya : 

Aku : Mbah, habis rontgen ya? Sakit apa mbah? 

Mbah : Prostat nduk 

Aku : Oh, prostat (kupikir TBC). Tapi, mbah lagi sakit kok masih merokok saja? Apa enggak takut kena TB/Tuberkulosis

Mbah : BB? Mbah ga punya BB nduk, ora mudeng aku 

Aku : Oalah mbah…mbah! TB mbah... TB! Bukan BB (waduh, musti pake TOA ini ) 

Mbah : Oh, hihi TB to? Maklum nduk, mbah sudah tua, tidak terlalu dengar. Tapi TB itu apa, nduk? 

Aku : TB itu singkatan dari Tuberkulosis, mbah. Hati-hati, itu penyakit menular lho mbah. 

Mbah: Nular? Ah, masa? 

Aku : Lho, mbah e nih enggak percaya. TB/Tuberkulosis itu ya mbah, bisa menular melalui udara, ketika bersin, meludah, atau ketika bicara berhadapan seperti ini tanpa masker. Penyakit ini bisa mematikan lho kalau tidak segera diobati. 

    Selain itu pecandu rokok seperti mbah ini bisa rentan terkena TB/Tuberkulosis juga, karena merokok itu bisa menurunkan daya tahan tubuh kita. Sel-sel pernafasan perokok itu rentan terkena gangguan atau kerusakan sehingga pecandu rokok rentan tertular infeksi khususnya TB/Tuberkulosis

   Seseorang yang berdekatan/ terkena asap rokok lebih mudah tertular TB/ Tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. 

Mbah : Oh, pantesan kamu pakai tutup hidung yo nduk, apa itu tadi namanya? 

Aku : Masker, mbah. Ya, aku pakai masker untuk melindungi diri agar tidak tertular kuman penyebab TB/ Tuberkulosis, karena kuman yang masuk dalam tubuh kita bisa berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai timbulnya gejala penyakit itu bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. 

Mbah : Kuman apa lagi itu nduk? 

Aku : Nama kumannya itu Mycobacterium tuberculosis

Mbah : Wah jenenge kok angel men, yo? 

Aku : Ya mbah, kuman ini berbentuk batang yang sifatnya tahan asam jadi dinamakan Batang Tahan Asam (BTA). Ini lho bentuknya seperti ini: 
sumber: google

Mbah : Oh gitu, kog ngeri gitu ya bentuknya. Lha itu siapa yang menemukan kuman-kuman itu? 

sumber: wikipedia
Aku : Ini lho mbah tak tunjukkan fotonya ya, namanya Robert Koch, ahli mikrobiologi asal Jerman. Sesuai nama penemunya oleh sebab itu bakteri ini disebut bakteri Koch dan dia juga memberi nama lain pada penyakit TB ini dengan nama Koch Pulmonum (KP). 

    Dia menemukan bakteri ini tepat pada tanggal 24 Maret 1882. Makanya, setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari TB/Tuberkulosis sedunia, mbah. 

    Indonesia sendiri tercatat sebagai negara ke-4 terbesar di dunia dalam kasus TBC. Kepadatan penduduk memberi peluang besar dalam penularan TB/Tuberkulosis, itu kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dalam Kick Off Forum Stop TB Partnership di Jakarta (30/5/13). 

    Setiap tahun, ada sekitar 9 juta orang terkena TBC dan 3 juta diantaranya tidak mendapat pelayanan medis. Mereka yang tidak terjangkau ini bisa meninggal jika tidak segera ditolong. Sedangkan yang lain yang masih hidup dan terjangkit TB/Tuberkulosis bisa menularkan kuman TB-nya ke orang lain di sekitarnya. 

    Jika mereka yang tidak terjangkau ini tidak segera ditolong maka jumlah pengidap TB/Tuberkulosis akan terus bertambah . 

Mbah : Wah, kasihan betul ya. Lha terus yang tidak terjangkau ini siapa saja nduk? 

Aku : Mereka yang tidak terjangkau diantaranya : 
  1. Pengidap TBC yang tidak mendapat akses kesehatan sama sekali. Penyebabnya misalnya : kemiskinan, terdiskriminasi, tingkat kewaspadaan dan pengetahuan mengenai penyakit TBC yang rendah sehingga tidak tahu kapan dan mengapa harus mencari bantuan tenaga kesehatan, terbatasnya layanan kesehatan dan pendistribusian yang tidak merata, kesulitan ekonomi: biaya pengobatan, biaya transportasi dan hilangnya pendapatan, konflik dan rasa kecurigaan.
  2. Pengidap TBC yang tidak terdiagnosa karena tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang diagnosa TBC. Hal ini disebabkan karena gagalnya mengidentifikasi gejala dan tanda penyakit TB, tidak akuratnya alat diagnostik penyakit TBC, dan sulitnya akses ke pemeriksaan penunjang.
  3. Pengidap TBC tidak tercatat apakah sudah diobati atau belum meski sudah terdiagnosa . Hal ini disebabkan karena tidak adanya kerjasama dokter pribadi, laborat, rumah sakit, dan layanan kesehatan publik atau pemerintah atau lembaga non pemerintah , lemahnya sistem pencatatan/ pelaporan. Tidak adanya suatu kewajiban untuk pelaporan kasus penyakit TBC oleh para penyelenggara layanan kesehatan 
Oya, kalau boleh tahu mbah ini usianya berapa ya? 
 
Mbah : Aku? Aku masih sweet sepentin (17)
Aku : Ah ngarang ah mbahe ini . Masa sweet seventeen kok rambutnya udah putih semua. Ini uban apa semiran?
Mbah: Hihi, kamu bisa aja nduk. Umurku 54 tahun, nduk
Aku : Nah, cocok itu. Biasanya TB menyerang usia-usia produktif antara 15-55 tahun. 
Mbah : Wah jangan nakut-nakuti mbah to nduk. Terus, gejalanya itu apa saja nduk kalau kena TB ini?
Aku : Gejalanya macem-macem mbah. Umumnya itu batuk lebih dari 3 minggu, demam disertai keringat dingin di malam hari, nafsu makan berkurang akibatnya jadi lemas dan berat badannya menurun. Badannya jadi kurus mbah.
Nah, selain itu juga ada gejala khususnya, diantaranya : 
- Nyeri dada : jika terdapat cairan di rongga pembungkus paru-paru/ pleura 
- Sesak nafas/ mengi : bila terjadi sumbatan pada saluran yang menuju ke paru-paru (bronkus) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar 
- Keluar nanah : Jika infeksi mengenai tulang dimana membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya. 
- Meningitis pada anak yang mana gejalanya adalah demam tinggi, kejang-kejang, dan tak sadarkan diri 

Mbah: Wah aku juga pernah merasakan gejala itu nduk. Aku pikir malah batuk biasa. Sampai aku obati jeruk nipis sama kecap. Tapi kok tidak sembuh-sembuh juga. Tapi,  kok kamu bisa tahu tentang TB ini darimana nduk? 

Aku : Begini mbah, kebetulan ayahku adalah mantan penderita TB/ Tuberkulosis. Beliau pernah minum obat TB, tapi tidak teratur dan akhirnya putus obat karena waktu itu aku bekerja di luar kota, jadi tidak ada yang mengawasi cara minum obat TB ayahku . 

   Padahal setahuku obat TB itu tidak boleh putus atau harus diminum secara teratur selama 6 bulan. Ayahku sering batuk tapi untungnya tidak sampai mengeluarkan darah. Selain itu beliau juga sering sesak nafas, nafsu makannya berkurang dan sering merasa lemas, berat badannya pun menurun. Beliau merasa tidak nyaman di tenggorokannya seperti ada reak yang susah keluar. 

   Setelah aku bujuk kembali untuk berobat lagi akhirnya beliau mau dan berjanji akan minum obatnya secara teratur. Ketika kuantar berobat ke puskesmas, ayahku diberi sebuah wadah kecil (pot) untuk periksa dahak. 

   Karena ayah susah mengeluarkan dahaknya padahal harus diperiksa maka aku pun berkonsultasi pada dokter tentang masalah ini dan dokter menyarankan untuk minum teh manis hangat dan memberi obat untuk membantu mengeluarkan dahak. 

    Ada 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu. Maksudnya dahak pagi saat kunjungan pertama ke puskesmas, dahak ketika bangun tidur, dan dahak sewaktu datang ke puskesmas lagi. 

     Hasil lab tidak bisa langsung keluar hari itu juga. Kami harus menunggu selama 3 hari kemudian kami kembali lagi ke puskesmas untuk mengambil hasil pemeriksaan dahak ayahku. Ternyata hasilnya Batang Tahan Asam Positif (BTA+). 

   Setelah itu beliau mendapat surat rujukan untuk rontgen paru di rumah sakit dan pemeriksaan lanjutannya di Balai Pengobatan Pemberantasan Penyakit Paru-Paru (BP4). Ternyata hasilnya gelembung paru ayahku mengempis dan ada bekas flek TB yang belum hilang. 

   Mau tak mau beliau harus menjalani pengobatan rutin selama kurang lebih 6 bulan dan harus diawasi agar tidak lupa minum obat karena bakterinya bisa kebal kalau ayahku lalai minum obat antibiotiknya. Dan bila sudah begitu maka dosis harus dinaikkan dan mengulang kembali dari awal. 

    Jadi pengobatannya harus benar-benar diperhatikan. Setelah 6 bulan itupun obat tidak langsung bisa dihentikan begitu saja, tetapi harus konsultasi ke dokter lagi untuk mengetahui apa masih perlu minum obat atau tidak. Ini ada video iklan PMO nya 
   
    Ayahku butuh waktu setahun untuk terapi obat ini. Dan untuk membantu pemulihan, setiap pagi hari ayahku berjemur di bawah sinar matahari agar bakterinya mati. Vitamin D rupanya dapat membantu mematikan bakteri penyebab TB/Tuberkulosis dan tentunya harus dibantu obat antibiotik agar efektif ya. 

   Syukurlah karena cepat dideteksi akhirnya kondisi ayahku sudah mulai membaik saat ini. Tapi sekarang di puskesmas saja juga sudah bisa berobat TB/Tuberkulosis gratis kok mbah dengan program DOTS yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1995. 

Mbah : Gratis? Wah mbah juga pecinta gratisan nih nduk. DOTS? Kalau dibalik jadi STOP ya nduk. 

Aku : Iya mbah. Stop TB/Tuberkulosis maksudnya. Nah, DOTS itu sendiri singkatan dari Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy. 

Mbah : Oh begitu, lalu apa langkah yang perlu kita lakukan kalau menemukan orang yang terjangkit TB/Tuberkulosis

Aku : Pertanyaan yang bagus, mbah. Langkah yang perlu kita lakukan jika menemukan pasien TB/Tuberkulosis yaitu : 
pinjam & edit gambar oleh penulis sendiri

  1. Bawa pasien segera berobat ke dokter supaya cepat mendapat pengobatan secara rutin. 
  2. Awasi minum obat secara ketat
  3. Beri makanan bergizi pada pasien TB/Tuberkulosis
  4. Sirkulasi udara dan sinar matahari di rumah harus baik.
  5. Hindarkan kontak dengan percikan batuk penderita
  6. Jangan menggunakan alat-alat makan/minum/mandi bersamaan. 
Mbah : Wah, berarti selama ini aku termasuk pasien yang tidak terjangkau yang tidak tahu apa-apa tentang TB/Tuberkulosis. Untung kamu beritahu nduk, wes kalau begitu tak ndang periksa ah selak kasep.
Aku : Lho mbah…mbah.. foto rontgennya ketinggalan.
Mbah : Titip duluuuu…(Kakek itu langsung membuang puntung rokoknya dan lari ke ruang dokter SPPD sampai sarungnya hampir lepas.) 
   Temukan penderita TB/Tuberkulosis lainnya yang  mungkin ada di lingkungan sekitar kita, bisa teman, kenalan, atau bahkan anggota keluarga kita sendiri. 
   Segera bawa ke rumah sakit agar penderita TB/Tuberkulosis dapat ditangani dan disembuhkan. Penangan sejak dini dapat membantu mengurangi angka kematian penderita akibat TB/Tuberkulosis di dunia. 
   Bergabunglah dengan forum STOP TB Partnership yang dapat diakses melalui: 

   Dukung dan suarakan aksi peduli TB/Tuberkulosis dengan menemukan orang-orang yang terjangkit TB/Tuberkulosis. Mari, kita dukung gerakan Indonesia bebas TB/Tuberkulosis mulai sekarang. 

 

Temukan Penderita TB/ Tuberkulosis Sejak Dini

Temukan Penderita TB/ Tuberkulosis Sejak Dini 

 

Imbauan akan bahaya merokok bagi kesehatan sudah sering digembar-gemborkan baik itu di iklan media massa, TV, radio, baliho di pinggir jalan, bahkan sampai pada bungkus rokoknya sendiri terdapat imbauan itu. Namun, nampaknya hal itu sering diabaikan oleh para pecandu rokok sendiri. 
    Ketika sedang mengantri di apotik, aku duduk bersebelahan dengan seorang kakek yang membawa foto rontgen. Dia sedang asyik merokok sambil sesekali batuk-batuk. “Orang sakit kok masih merokok saja,” gumamku. 

Berikut ini hasil pembicaraanku dengannya : 

Aku : Mbah, habis rontgen ya? Sakit apa mbah? 

Mbah : Prostat nduk 

Aku : Oh, prostat (kupikir TBC). Tapi, mbah lagi sakit kok masih merokok saja? Apa enggak takut kena TB/Tuberkulosis

Mbah : BB? Mbah ga punya BB nduk, ora mudeng aku 

Aku : Oalah mbah…mbah! TB mbah... TB! Bukan BB (waduh, musti pake TOA ini ) 

Mbah : Oh, hihi TB to? Maklum nduk, mbah sudah tua, tidak terlalu dengar. Tapi TB itu apa, nduk? 

Aku : TB itu singkatan dari Tuberkulosis, mbah. Hati-hati, itu penyakit menular lho mbah. 

Mbah: Nular? Ah, masa? 

Aku : Lho, mbah e nih enggak percaya. TB/Tuberkulosis itu ya mbah, bisa menular melalui udara, ketika bersin, meludah, atau ketika bicara berhadapan seperti ini tanpa masker. Penyakit ini bisa mematikan lho kalau tidak segera diobati. 

    Selain itu pecandu rokok seperti mbah ini bisa rentan terkena TB/Tuberkulosis juga, karena merokok itu bisa menurunkan daya tahan tubuh kita. Sel-sel pernafasan perokok itu rentan terkena gangguan atau kerusakan sehingga pecandu rokok rentan tertular infeksi khususnya TB/Tuberkulosis

   Seseorang yang berdekatan/ terkena asap rokok lebih mudah tertular TB/ Tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. 

Mbah : Oh, pantesan kamu pakai tutup hidung yo nduk, apa itu tadi namanya? 

Aku : Masker, mbah. Ya, aku pakai masker untuk melindungi diri agar tidak tertular kuman penyebab TB/ Tuberkulosis, karena kuman yang masuk dalam tubuh kita bisa berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai timbulnya gejala penyakit itu bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. 

Mbah : Kuman apa lagi itu nduk? 

Aku : Nama kumannya itu Mycobacterium tuberculosis

Mbah : Wah jenenge kok angel men, yo? 

Aku : Ya mbah, kuman ini berbentuk batang yang sifatnya tahan asam jadi dinamakan Batang Tahan Asam (BTA). Ini lho bentuknya seperti ini: 
sumber: google

Mbah : Oh gitu, kog ngeri gitu ya bentuknya. Lha itu siapa yang menemukan kuman-kuman itu? 

sumber: wikipedia
Aku : Ini lho mbah tak tunjukkan fotonya ya, namanya Robert Koch, ahli mikrobiologi asal Jerman. Sesuai nama penemunya oleh sebab itu bakteri ini disebut bakteri Koch dan dia juga memberi nama lain pada penyakit TB ini dengan nama Koch Pulmonum (KP). 

    Dia menemukan bakteri ini tepat pada tanggal 24 Maret 1882. Makanya, setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari TB/Tuberkulosis sedunia, mbah. 

    Indonesia sendiri tercatat sebagai negara ke-4 terbesar di dunia dalam kasus TBC. Kepadatan penduduk memberi peluang besar dalam penularan TB/Tuberkulosis, itu kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dalam Kick Off Forum Stop TB Partnership di Jakarta (30/5/13). 

    Setiap tahun, ada sekitar 9 juta orang terkena TBC dan 3 juta diantaranya tidak mendapat pelayanan medis. Mereka yang tidak terjangkau ini bisa meninggal jika tidak segera ditolong. Sedangkan yang lain yang masih hidup dan terjangkit TB/Tuberkulosis bisa menularkan kuman TB-nya ke orang lain di sekitarnya. 

    Jika mereka yang tidak terjangkau ini tidak segera ditolong maka jumlah pengidap TB/Tuberkulosis akan terus bertambah . 

Mbah : Wah, kasihan betul ya. Lha terus yang tidak terjangkau ini siapa saja nduk? 

Aku : Mereka yang tidak terjangkau diantaranya : 
  1. Pengidap TBC yang tidak mendapat akses kesehatan sama sekali. Penyebabnya misalnya : kemiskinan, terdiskriminasi, tingkat kewaspadaan dan pengetahuan mengenai penyakit TBC yang rendah sehingga tidak tahu kapan dan mengapa harus mencari bantuan tenaga kesehatan, terbatasnya layanan kesehatan dan pendistribusian yang tidak merata, kesulitan ekonomi: biaya pengobatan, biaya transportasi dan hilangnya pendapatan, konflik dan rasa kecurigaan.
  2. Pengidap TBC yang tidak terdiagnosa karena tidak dilakukannya pemeriksaan penunjang diagnosa TBC. Hal ini disebabkan karena gagalnya mengidentifikasi gejala dan tanda penyakit TB, tidak akuratnya alat diagnostik penyakit TBC, dan sulitnya akses ke pemeriksaan penunjang.
  3. Pengidap TBC tidak tercatat apakah sudah diobati atau belum meski sudah terdiagnosa . Hal ini disebabkan karena tidak adanya kerjasama dokter pribadi, laborat, rumah sakit, dan layanan kesehatan publik atau pemerintah atau lembaga non pemerintah , lemahnya sistem pencatatan/ pelaporan. Tidak adanya suatu kewajiban untuk pelaporan kasus penyakit TBC oleh para penyelenggara layanan kesehatan 
Oya, kalau boleh tahu mbah ini usianya berapa ya? 
 
Mbah : Aku? Aku masih sweet sepentin (17)
Aku : Ah ngarang ah mbahe ini . Masa sweet seventeen kok rambutnya udah putih semua. Ini uban apa semiran?
Mbah: Hihi, kamu bisa aja nduk. Umurku 54 tahun, nduk
Aku : Nah, cocok itu. Biasanya TB menyerang usia-usia produktif antara 15-55 tahun. 
Mbah : Wah jangan nakut-nakuti mbah to nduk. Terus, gejalanya itu apa saja nduk kalau kena TB ini?
Aku : Gejalanya macem-macem mbah. Umumnya itu batuk lebih dari 3 minggu, demam disertai keringat dingin di malam hari, nafsu makan berkurang akibatnya jadi lemas dan berat badannya menurun. Badannya jadi kurus mbah.
Nah, selain itu juga ada gejala khususnya, diantaranya : 
- Nyeri dada : jika terdapat cairan di rongga pembungkus paru-paru/ pleura 
- Sesak nafas/ mengi : bila terjadi sumbatan pada saluran yang menuju ke paru-paru (bronkus) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar 
- Keluar nanah : Jika infeksi mengenai tulang dimana membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya. 
- Meningitis pada anak yang mana gejalanya adalah demam tinggi, kejang-kejang, dan tak sadarkan diri 

Mbah: Wah aku juga pernah merasakan gejala itu nduk. Aku pikir malah batuk biasa. Sampai aku obati jeruk nipis sama kecap. Tapi kok tidak sembuh-sembuh juga. Tapi,  kok kamu bisa tahu tentang TB ini darimana nduk? 

Aku : Begini mbah, kebetulan ayahku adalah mantan penderita TB/ Tuberkulosis. Beliau pernah minum obat TB, tapi tidak teratur dan akhirnya putus obat karena waktu itu aku bekerja di luar kota, jadi tidak ada yang mengawasi cara minum obat TB ayahku . 

   Padahal setahuku obat TB itu tidak boleh putus atau harus diminum secara teratur selama 6 bulan. Ayahku sering batuk tapi untungnya tidak sampai mengeluarkan darah. Selain itu beliau juga sering sesak nafas, nafsu makannya berkurang dan sering merasa lemas, berat badannya pun menurun. Beliau merasa tidak nyaman di tenggorokannya seperti ada reak yang susah keluar. 

   Setelah aku bujuk kembali untuk berobat lagi akhirnya beliau mau dan berjanji akan minum obatnya secara teratur. Ketika kuantar berobat ke puskesmas, ayahku diberi sebuah wadah kecil (pot) untuk periksa dahak. 

   Karena ayah susah mengeluarkan dahaknya padahal harus diperiksa maka aku pun berkonsultasi pada dokter tentang masalah ini dan dokter menyarankan untuk minum teh manis hangat dan memberi obat untuk membantu mengeluarkan dahak. 

    Ada 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu. Maksudnya dahak pagi saat kunjungan pertama ke puskesmas, dahak ketika bangun tidur, dan dahak sewaktu datang ke puskesmas lagi. 

     Hasil lab tidak bisa langsung keluar hari itu juga. Kami harus menunggu selama 3 hari kemudian kami kembali lagi ke puskesmas untuk mengambil hasil pemeriksaan dahak ayahku. Ternyata hasilnya Batang Tahan Asam Positif (BTA+). 

   Setelah itu beliau mendapat surat rujukan untuk rontgen paru di rumah sakit dan pemeriksaan lanjutannya di Balai Pengobatan Pemberantasan Penyakit Paru-Paru (BP4). Ternyata hasilnya gelembung paru ayahku mengempis dan ada bekas flek TB yang belum hilang. 

   Mau tak mau beliau harus menjalani pengobatan rutin selama kurang lebih 6 bulan dan harus diawasi agar tidak lupa minum obat karena bakterinya bisa kebal kalau ayahku lalai minum obat antibiotiknya. Dan bila sudah begitu maka dosis harus dinaikkan dan mengulang kembali dari awal. 

    Jadi pengobatannya harus benar-benar diperhatikan. Setelah 6 bulan itupun obat tidak langsung bisa dihentikan begitu saja, tetapi harus konsultasi ke dokter lagi untuk mengetahui apa masih perlu minum obat atau tidak. Ini ada video iklan PMO nya 
   
    Ayahku butuh waktu setahun untuk terapi obat ini. Dan untuk membantu pemulihan, setiap pagi hari ayahku berjemur di bawah sinar matahari agar bakterinya mati. Vitamin D rupanya dapat membantu mematikan bakteri penyebab TB/Tuberkulosis dan tentunya harus dibantu obat antibiotik agar efektif ya. 

   Syukurlah karena cepat dideteksi akhirnya kondisi ayahku sudah mulai membaik saat ini. Tapi sekarang di puskesmas saja juga sudah bisa berobat TB/Tuberkulosis gratis kok mbah dengan program DOTS yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1995. 

Mbah : Gratis? Wah mbah juga pecinta gratisan nih nduk. DOTS? Kalau dibalik jadi STOP ya nduk. 

Aku : Iya mbah. Stop TB/Tuberkulosis maksudnya. Nah, DOTS itu sendiri singkatan dari Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy. 

Mbah : Oh begitu, lalu apa langkah yang perlu kita lakukan kalau menemukan orang yang terjangkit TB/Tuberkulosis

Aku : Pertanyaan yang bagus, mbah. Langkah yang perlu kita lakukan jika menemukan pasien TB/Tuberkulosis yaitu : 
pinjam & edit gambar oleh penulis sendiri

  1. Bawa pasien segera berobat ke dokter supaya cepat mendapat pengobatan secara rutin. 
  2. Awasi minum obat secara ketat
  3. Beri makanan bergizi pada pasien TB/Tuberkulosis
  4. Sirkulasi udara dan sinar matahari di rumah harus baik.
  5. Hindarkan kontak dengan percikan batuk penderita
  6. Jangan menggunakan alat-alat makan/minum/mandi bersamaan. 
Mbah : Wah, berarti selama ini aku termasuk pasien yang tidak terjangkau yang tidak tahu apa-apa tentang TB/Tuberkulosis. Untung kamu beritahu nduk, wes kalau begitu tak ndang periksa ah selak kasep.
Aku : Lho mbah…mbah.. foto rontgennya ketinggalan.
Mbah : Titip duluuuu…(Kakek itu langsung membuang puntung rokoknya dan lari ke ruang dokter SPPD sampai sarungnya hampir lepas.) 
   Temukan penderita TB/Tuberkulosis lainnya yang  mungkin ada di lingkungan sekitar kita, bisa teman, kenalan, atau bahkan anggota keluarga kita sendiri. 
   Segera bawa ke rumah sakit agar penderita TB/Tuberkulosis dapat ditangani dan disembuhkan. Penangan sejak dini dapat membantu mengurangi angka kematian penderita akibat TB/Tuberkulosis di dunia. 
   Bergabunglah dengan forum STOP TB Partnership yang dapat diakses melalui: 

   Dukung dan suarakan aksi peduli TB/Tuberkulosis dengan menemukan orang-orang yang terjangkit TB/Tuberkulosis. Mari, kita dukung gerakan Indonesia bebas TB/Tuberkulosis mulai sekarang. 

 

Designed By VungTauZ.Com